Saat kita membicarakan Jepang hari ini, yang terbayang mungkin teknologi canggih, budaya pop seperti anime, atau etika kerja yang disiplin. Tapi di balik semua itu, Jepang punya sejarah panjang dan penuh liku. Sebuah perjalanan dari negeri agraris yang tertutup, menjadi kekuatan militer yang sempat mengguncang dunia—termasuk Indonesia.
Yuk, kita telusuri kisahnya dari awal!
Jepang di Masa Feodal: Negeri Para Samurai dan Klan
Ratusan tahun sebelum menjadi negara industri, Jepang adalah negeri feodal. Sekitar abad ke-12, kekuasaan tertinggi berada di tangan para shogun (panglima militer), sementara kaisar hanya simbol saja. Sistem ini dikenal sebagai bakufu, dan berlangsung cukup lama, terutama di bawah kekuasaan Klan Tokugawa.
Era Tokugawa (1603–1868) dikenal sebagai zaman Edo. Jepang saat itu memilih untuk menutup diri dari dunia luar melalui kebijakan sakoku. Hanya pelabuhan tertentu, seperti Nagasaki, yang dibuka untuk perdagangan terbatas, misalnya dengan Belanda. Di masa ini, Jepang hidup damai tapi stagnan, jauh dari perkembangan dunia luar.
Restorasi Meiji: Ketika Jepang Memutuskan Untuk Bangkit
Semua berubah pada pertengahan abad ke-19, ketika kapal-kapal Amerika yang dipimpin Commodore Perry muncul di Teluk Edo (Tokyo). Jepang terpaksa membuka diri, dan hal ini mengguncang stabilitas internal mereka.
Tahun 1868, kekuasaan shogun digulingkan, dan Kaisar Meiji mengambil alih kendali penuh. Inilah awal dari Restorasi Meiji — momen kebangkitan Jepang sebagai negara modern.
Mereka belajar dari Barat dengan sangat cepat. Pendidikan diperbarui, militer diperkuat, industri dibangun. Jepang meniru cara Eropa membangun negara, bahkan sampai ke sisi gelapnya: kolonialisme.
Jepang Jadi Negara Imperialis: Asia Timur Dalam Cengkeraman
Awal abad ke-20, Jepang mulai menunjukkan tajinya. Mereka mengalahkan Tiongkok dalam Perang Tiongkok-Jepang (1894–1895), lalu mengalahkan Rusia dalam Perang Rusia-Jepang (1904–1905)—sebuah kemenangan besar yang membuat dunia kaget, karena bangsa Asia bisa mengalahkan negara Eropa.
Setelah itu, Jepang mulai menjajah Korea, sebagian Tiongkok, hingga Taiwan. Mereka tidak ingin hanya menjadi penonton dalam "perebutan dunia" oleh bangsa-bangsa Barat.
Lambat laun, Jepang berubah jadi kekuatan militer yang agresif. Mereka membangun kekuatan angkatan laut dan percaya bahwa Asia harus dipimpin oleh orang Asia sendiri — tentu saja maksudnya mereka sendiri. Ide ini dikenal sebagai Hakko Ichiu, gagasan bahwa dunia harus bersatu di bawah kepemimpinan Jepang.
Perang Dunia II dan Ambisi Asia Timur Raya
Tahun 1940-an, Jepang berambisi membentuk "Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya". Ide ini terdengar mulia—melawan kolonialisme Barat dan membebaskan Asia. Tapi kenyataannya, Jepang hanya menggantikan peran Barat sebagai penjajah baru.
Saat Perang Dunia II berkecamuk, Jepang memanfaatkan kekosongan kekuasaan akibat melemahnya Belanda, Inggris, dan Amerika di kawasan Asia-Pasifik. Di sinilah cerita penjajahan Jepang atas Indonesia dimulai.
Jepang Menginjak Tanah Nusantara 1942
Invasi Jepang ke Hindia Belanda bukanlah kejutan sepenuhnya. Jauh sebelum 1942, aroma perang sudah tercium. Perang Dunia II yang meletus di Eropa telah membuka celah di Asia. Belanda, yang saat itu dikuasai Jerman Nazi, kehilangan kekuatan untuk menjaga koloni jauhnya—Indonesia.Pada 10 Januari 1942, Jepang resmi menyerang Kalimantan Timur dan terus bergerak cepat.
Hanya dalam waktu dua bulan, satu demi satu wilayah jatuh: Tarakan, Balikpapan, Pontianak, Palembang, Surabaya, hingga Batavia. Jepang bergerak seperti badai tropis yang menghantam tanpa ampun.
Pada 1 Maret 1942, pasukan Jepang mendarat di tiga titik strategis: Banten (Pantai Anyer), Indramayu, dan Bojonegoro. Lima hari kemudian, 5 Maret 1942, Batavia (Jakarta) jatuh. Dan pada 9 Maret 1942, Gubernur Jenderal Belanda, Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, menyerah tanpa syarat di Kalijati, Subang, Jawa Barat.
Jepang datang membawa narasi indah "mereka bukan penjajah, melainkan pembebas". Mereka mengusung “Hakko Ichiu”, dunia di bawah satu atap, dengan Jepang sebagai pemimpin Asia. Mereka membakar semangat anti-Barat, menggantikan bahasa Belanda dengan bahasa Jepang, menutup sekolah Belanda, dan bahkan membolehkan lagu "Indonesia Raya" dinyanyikan—sesuatu yang dilarang keras oleh Belanda.
Awalnya, banyak rakyat Indonesia menyambut Jepang sebagai "saudara tua" yang akan membebaskan dari kolonialisme Belanda. Jepang pintar membungkus misinya dengan propaganda Asia Timur Raya. Lagu-lagu Jepang diputar, Bahasa Jepang diajarkan, dan nama-nama Jepang mulai menggantikan istilah-istilah Belanda.
Tapi di balik retorika Asia Raya, ada niat yang jauh lebih dalam yaitu mengeksploitasi sumber daya dan manusia Nusantara demi mesin perang Jepang.
Penjajahan Gaya Baru: Penderitaan di Balik Janji Manis
Kehidupan rakyat Indonesia berubah drastis. Jepang menghapus sistem kolonial lama, tapi menggantinya dengan sistem militer yang lebih keras. Jawa dibagi dalam kendali militer angkatan darat (Tentara ke-16), Sumatera di bawah angkatan darat ke-25, dan Kalimantan-Sulawesi oleh angkatan laut.
Penduduk diwajibkan tunduk pada semua aturan. Sembah kepada Kaisar menjadi bentuk penghormatan wajib. Orang-orang dipaksa kerja rodi (romusha), pengawasan ketat diberlakukan, dan pelanggaran sekecil apa pun bisa berakhir di hukuman mati. Kelaparan, kekerasan, dan ketakutan menjadi wajah sehari-hari.
Jepang memanfaatkan sumber daya Indonesia secara brutal. Beras, karet, minyak bumi—semua diangkut ke Jepang untuk mendukung perang. Rakyat dipaksa bekerja dalam sistem kerja paksa yang terkenal kejam: romusha.
Banyak yang dikirim ke luar Jawa bahkan hingga ke luar negeri, seperti Burma dan Thailand, untuk membangun rel kereta api dan infrastruktur militer. Puluhan ribu orang tak pernah kembali. Mereka meninggal karena penyakit, kelaparan, atau penyiksaan.
Tak hanya itu, banyak perempuan Indonesia yang menjadi korban eksploitasi seksual sistematis dalam skema yang disebut "jugun ianfu"—perempuan penghibur bagi tentara Jepang.
Namun... Jepang Juga Berperan Dalam Persiapan Kemerdekaan
Meski kejam, penjajahan Jepang memberi dampak yang tak sepenuhnya negatif dalam konteks sejarah perjuangan. Berbeda dengan Belanda, Jepang justru membuka jalan bagi lahirnya pemimpin nasional.
Tokoh-tokoh seperti Soekarno dan Hatta dilibatkan dalam organisasi semi-pemerintahan seperti Putera dan BPUPKI. Jepang mengizinkan penggunaan Bahasa Indonesia dan lambang-lambang kebangsaan. Semua ini dimanfaatkan oleh para pejuang untuk mempersiapkan kemerdekaan.
Bahkan, Jepang yang kala itu sudah mulai kalah perang, memberi “janji kemerdekaan” kepada Indonesia pada 1945 — meskipun ini lebih karena strategi politik daripada ketulusan.
Akhir Penjajahan dan Babak Baru Indonesia
Tahun 1945, setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh Amerika, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Kekalahan ini membuka jalan bagi proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Meskipun perjuangan belum selesai (karena Belanda mencoba kembali), momen ini tak bisa dilepaskan dari dinamika kekuasaan Jepang di Nusantara.
Penutup: Sejarah yang Tak Hitam-Putih
Sejarah Jepang adalah kisah transformasi besar: dari negeri terisolasi menjadi kekuatan global, lalu jatuh akibat ambisi militernya. Di Indonesia, kehadiran Jepang menyisakan luka, tapi juga peluang yang dimanfaatkan oleh para tokoh bangsa.
Sejarah ini mengajarkan bahwa penjajahan, dengan segala bentuknya, tidak pernah benar. Tapi dari reruntuhan penjajahan itu, selalu ada ruang bagi lahirnya harapan — seperti lahirnya sebuah bangsa yang merdeka.