Mei 1998 menjadi salah satu peristiwa paling monumental dalam sejarah Indonesia, yang tidak hanya mengubah wajah negara, tetapi juga arah perjuangan bangsa. Bagi banyak orang, peristiwa ini adalah puncak dari ketidakadilan yang telah lama terpendam selama lebih dari tiga dekade di bawah pemerintahan Soeharto. Kejadian ini bukan hanya soal jatuhnya seorang presiden, tetapi juga simbol dari harapan baru yang terlahir dari jeritan rakyat yang telah lama dibungkam.
Krisis Ekonomi yang Menyiksa Rakyat
Sebelum Mei 1998, Indonesia terjebak dalam krisis ekonomi yang sangat mendalam. Krisis moneter yang mengguncang Asia pada 1997 berdampak parah bagi Indonesia. Nilai rupiah jatuh bebas, inflasi meroket, dan harga barang-barang pokok naik drastis.
Rakyat Indonesia, terutama yang berada di lapisan bawah, terperangkap dalam kesulitan ekonomi yang semakin memperburuk kualitas hidup mereka.
Namun, di sisi lain, para elit dan kroni-kroni penguasa justru semakin menikmati kekayaan yang berlimpah. Banyak bisnis besar yang dikuasai oleh keluarga Soeharto dan sekutunya, sementara rakyat kecil terus menderita.
Ketidakadilan ini semakin meluas, menciptakan rasa frustasi dan kemarahan yang tak terbendung. Banyak pihak mulai mempertanyakan kebijakan yang dijalankan, yang tampaknya hanya menguntungkan segelintir orang, sementara mayoritas rakyat hidup dalam kesulitan.
Soeharto yang Tak Mau Mendengar
Soeharto, yang telah memerintah Indonesia selama lebih dari tiga puluh tahun, semakin tampak tidak peduli dengan nasib rakyatnya. Pada saat rakyat terhimpit oleh krisis ekonomi, Soeharto dan para kroninya malah hidup dalam kemewahan.
Ketidakadilan ini menciptakan ketegangan sosial yang semakin membesar. Kritik terhadap pemerintah dilarang keras, dan media yang seharusnya menjadi sarana kontrol sosial, justru dipenuhi dengan propaganda yang mendukung kekuasaan.
Pemerintah semakin represif, menindak tegas setiap upaya protes yang dilakukan oleh mahasiswa maupun masyarakat. Kebebasan berbicara hampir tidak ada, dan kritik terhadap pemerintah bisa berujung pada penangkapan atau ancaman yang serius.
Ketidakpuasan semakin meluas, baik di kalangan mahasiswa maupun masyarakat umum, yang merasa terbelenggu dalam situasi yang sangat tidak adil.
Tragedi Trisakti: Darah yang Menjadi Tanda
Pada 12 Mei 1998, mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran yang menuntut Soeharto mundur dari jabatannya. Aksi tersebut dimulai dengan damai, namun berakhir dengan tragedi. Empat mahasiswa—Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie—tewas ditembak oleh aparat keamanan.
Tragedi ini menjadi titik balik yang menggerakkan lebih banyak orang untuk berani menuntut perubahan.
Darah yang tumpah di tanah kampus Trisakti bukan hanya menyentuh hati keluarga korban, tetapi juga membakar semangat rakyat. Para demonstran, yang sebelumnya takut untuk bersuara, kini mulai berdiri tegak, berani melawan ketidakadilan yang sudah lama merajalela. Mereka tahu bahwa suara mereka harus didengar, dan perjuangan mereka harus berlanjut.
Kerusuhan Mei 1998: Jakarta Terbakar
Tuntutan yang semakin membesar untuk melihat Soeharto mundur akhirnya memicu kerusuhan besar. Pada 13–15 Mei 1998, Jakarta dan beberapa kota besar lainnya dilanda kerusuhan hebat.
Gedung-gedung mal dijarah, toko-toko dibakar, dan jalan-jalan dipenuhi asap tebal serta suara tembakan. Kerusuhan ini, meskipun tampaknya spontan, menunjukkan betapa dalamnya rasa frustasi rakyat terhadap pemerintahan yang sudah terlalu lama tidak peduli dengan nasib mereka.
Namun, kerusuhan ini juga memunculkan sisi gelap lain dari peristiwa tersebut yaitu serangan terhadap etnis Tionghoa. Banyak dari mereka menjadi korban kekerasan dan diskriminasi yang sudah lama terpendam.
Pemerkosaan, pembunuhan, dan perusakan properti etnis Tionghoa terjadi dengan brutal, menciptakan luka yang mendalam bagi sejarah Indonesia. Kekacauan sosial ini mengungkapkan adanya ketegangan antar kelompok etnis yang semakin sulit ditutupi.
Soeharto Mundur: Sebuah Titik Awal
Pada 21 Mei 1998, setelah tekanan luar biasa dari rakyat dan elite politik, Soeharto akhirnya mengundurkan diri. Banyak yang merasa lega setelah berbulan-bulan berjuang untuk perubahan, namun bagi sebagian orang, pengunduran dirinya bukanlah akhir dari perjuangan.
Struktur kekuasaan yang telah dibangun oleh Soeharto selama lebih dari tiga puluh tahun tidak akan hancur dalam semalam. Era Reformasi yang dimulai setelah Soeharto turun membawa angin segar.
Kebebasan berbicara lebih terbuka, dan sistem politik yang lebih demokratis mulai terwujud. Namun, kenyataannya, korupsi tetap mengakar, dan sistem yang ada masih dipengaruhi oleh orang-orang lama. Meskipun begitu, ada harapan bahwa suatu saat, Indonesia akan menjadi negara yang lebih adil, di mana suara rakyat benar-benar dihargai.
Reformasi yang Tak Terselesaikan
Meskipun Soeharto sudah mundur, tantangan besar masih harus dihadapi. Reformasi yang diharapkan tidak hanya sebatas perubahan politik, tetapi harus mencakup semua aspek kehidupan: ekonomi, sosial, dan keadilan. Korupsi yang merajalela dan ketimpangan sosial yang besar menjadi masalah yang tak bisa selesai dalam semalam.
Perjuangan reformasi harus terus berlanjut. Keberanian rakyat yang turun ke jalan pada Mei 1998 harus tetap dikenang sebagai momen penting dalam sejarah Indonesia. Namun, kita semua tahu bahwa jalan menuju negara yang benar-benar adil dan bebas tidak mudah.
Sejarah Mei 1998 mengajarkan kita bahwa kebebasan dan keadilan adalah hak yang harus diperjuangkan, dan tidak boleh dilupakan.