Skip ke Konten

Perang Banten 1888: Serangan Besar Rakyat Banten

Ketika Rakyat Banten Mengangkat Senjata Akibat Ledakan Amarah atas Penindasan Kolonial Belanda

perang banten 1888


Perang Banten 1888 merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajahan Belanda.


Perang ini terjadi di wilayah Banten bagian barat, terutama di sekitar Cilegon, Pandeglang, dan sekitarnya.


Latar belakangnya sangat kompleks, dimana pada saat itu melibatkan penindasan ekonomi yang dibuat oleh sistem kolonial, ketidakadilan sosial, serta dorongan keagamaan yang kuat.


Para petani, santri, dan kiai yang sudah lama mengalami tekanan akhirnya memutuskan untuk melakukan perlawanan terbuka terhadap pemerintah kolonial.


Peristiwa ini menandai akumulasi dari keresahan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, dan menjadi simbol penting perjuangan rakyat dari kalangan bawah di tanah Jawa.


Latar Belakang Sosial dan Politik


masukan belanda ke banten abad ke-17


Masuknya kolonial Belanda ke wilayah Banten dimuai sejak abad ke-17, kolonial Belanda dengan perlahan menggerus kekuasaan Kesultanan Banten.


Hingga ada 1813 kekuasaan resmi kesultanan dihapuskan oleh Thomas Stamford Raffles. yang membuat rakyat Banten kehilangan pelindung politik dan budaya yang selama ini menaungi mereka


Penghapusan kekuasaan kesultanan memaksa rakyat diperbudak oleh kolonial Belanda. Sistem tanam paksa (cultuurstelsel), pajak tanah, serta kerja rodi mulai diberlakukan secara masif.


Pejabat-pejabat desa (penghulu, lurah) sering kali diangkat bukan karena integritas atau dukungan rakyat, melainkan karena loyalitasnya pada pemerintah kolonial. Hal ini menciptakan kesenjangan antara rakyat biasa dan elite lokal.


Selain itu, banyak tanah rakyat yang dirampas untuk kepentingan perkebunan Belanda, sementara hasil bumi rakyat harus dijual dengan harga yang ditentukan kolonial.


Ketimpangan ekonomi ini diperburuk oleh praktik korupsi dan pemaksaan kehendak para pejabat yang berkoloni dengan Belanda merajalela.


Dimensi Keagamaan dan Peran Kiai


kiai banten


Dalam kondisi sosial yang tercekik ini, agama Islam menjadi sumber kekuatan dan harapan. Para kiai bukan hanya menjadi pengajar agama, tetapi juga jadi pemimpin spiritual dan simbol keadilan di tengah ketidakadilan.


Mereka dihormati karena keteguhan, keberanian, dan kesederhanaan hidupnya.


Gerakan Mahdiisme mulai muncul di kalangan rakyat pada saat itu. Mereka percaya bahwa akan datang sosok penyelamat (Imam Mahdi) yang akan membebaskan mereka dari tirani dan kezaliman. Keyakinan ini menyebar ke seluruh wilayah banten terutama di kalangan petani dan santri.


Meletusnya Pemberontakan


Meletusnya Pemberontakan banten 1888


Pada 9 Juli 1888, terjadi serangan besar-besaran ke kantor pemerintahan kolonial di Menes, Pandeglang.


Pemberontakan ini dikenal sebagai "Peristiwa Cilegon 1888", karena sebagian besar kekacauan meluas ke wilayah Cilegon, Caringin, dan sekitarnya.


Para pemberontak membakar kantor-kantor pemerintah, menyerang rumah para pejabat kolonial, dan membebaskan para tahanan.


Pemberontakan ini dipimpin oleh para tokoh lokal yang karismatik dan dihormati:


  • K.H. Tubagus Ismail: Ulama dari Ciwandan yang dikenal luas di kalangan pesantren. Ia menjadi tokoh spiritual dan strategis gerakan ini.
  • Kiai Wasid: Ulama dari daerah Beji yang menggabungkan semangat religius dengan aksi militan. Ia dianggap sebagai salah satu pemimpin utama dalam serangan terhadap kantor Asisten Residen di Cilegon.
  • K.H. Tubagus Thohir: Seorang ulama dan pejuang yang memiliki pengaruh besar di wilayah Anyer.
  • K.H. Abdul Qodir: Tokoh dari daerah Caringin yang membantu memobilisasi massa dari desa-desa sekitar.
  • Haji Said dan Haji Mahdi: Dua pemuka masyarakat dari Labuan dan sekitarnya yang bertugas sebagai penyebar pesan perlawanan di kalangan petani dan buruh tani.


Mereka bergerak secara terorganisir, dengan menyebarkan pesan lewat masjid dan pesantren, memanfaatkan jejaring keagamaan sebagai medium penyatuan kekuatan rakyat.


Reaksi Kolonial: Represif dan Brutal


Pemerintah kolonial segera merespons dengan mengirim pasukan dari Batavia dan Serang. Dengan persenjataan modern dan dukungan militer penuh, Belanda berhasil merebut kembali kantor-kantor pemerintahan dan melumpuhkan kekuatan pemberontak dalam waktu kurang dari satu minggu.


Ratusan orang ditangkap. Banyak yang diinterogasi, dipenjara, diasingkan ke luar Jawa, bahkan dihukum mati. Di antara yang dieksekusi adalah Kiai Wasid, yang hingga kini dikenang sebagai syuhada perlawanan rakyat Banten.


Warisan Sejarah dan Memori Kolektif


Meskipun pemberontakan ini gagal secara militer, ia meninggalkan warisan besar dalam sejarah perlawanan rakyat Indonesia.


Perang Banten 1888 memperlihatkan bahwa kekuatan rakyat bawah—petani, santri, kiai, dan jawara bisa menjadi kekuatan yang menantang sistem kolonial.


Ia juga memperlihatkan bahwa semangat perlawanan tidak melulu berasal dari elite nasionalis, tetapi juga dari desa-desa terpencil yang dihuni orang-orang yang rela mempertaruhkan nyawa demi harga diri dan keadilan.


Penutup


Perang Banten 1888 bukan sekadar catatan sejarah. Ia adalah suara hati rakyat yang menolak tunduk pada tirani. Ia adalah simbol bahwa ketika keadilan dibungkam, agama dan budaya lokal dapat menjadi obor yang menyulut semangat perlawanan.


Dan dari tanah Cilegon yang pernah berdarah itu, suara mereka masih bergema—dalam ingatan, dalam cerita, dan dalam perjuangan bangsa ini untuk menjadi benar-benar merdeka.

di dalam Sejarah
Perang Banten 1888: Serangan Besar Rakyat Banten
fajar ryanto 20 Mei 2025
Share
Label
Arsip
Masuk untuk meninggalkan komentar
Jakarta Punya Kasino: Warisan Kebijakan Berani Ali Sadikin
Pada era akhir 1960-an hingga pertengahan 1970-an, Jakarta pernah memiliki tempat-tempat perjudian legal, termasuk kasino.