Pembangunan rel kereta api di Indonesia dimulai pada abad ke-19, saat wilayah ini masih berada di bawah kekuasaan kolonial Hindia Belanda.
Meski sering dianggap sebagai simbol kemajuan transportasi, infrastruktur ini juga menyimpan sejarah kelam yang jarang dibahas secara mendalam, yaitu penderitaan besar yang dialami oleh rakyat pribumi dalam proses pembangunannya.
Artikel ini akan mengulas secara faktual dan kronologis pembangunan rel kereta api di masa penjajahan, serta kondisi para pekerja yang terlibat di dalamnya.
Awal Mula Pembangunan Rel Kereta Api di Hindia Belanda
Rel kereta api pertama di Hindia Belanda dibangun pada tahun 1864, dimulai dari Semarang ke Tanggung (26 km) dan dioperasikan oleh Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS).
Pembangunan ini bertujuan utama untuk mempercepat pengangkutan hasil bumi seperti gula, kopi, dan tembakau dari pedalaman Jawa ke pelabuhan agar dapat diekspor ke Eropa.
Seiring waktu, jaringan rel diperluas ke berbagai daerah, termasuk ke wilayah barat dan timur Pulau Jawa, Sumatra, serta sebagian kecil wilayah lain seperti Sulawesi.
Hingga akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, jaringan rel kereta sudah tersebar di banyak wilayah penting Hindia Belanda.
Sistem Kerja Paksa dalam Pembangunan Rel
Pembangunan rel tidak lepas dari pemanfaatan tenaga kerja dalam jumlah besar. Sebagian besar pekerja merupakan penduduk pribumi yang direkrut melalui sistem kerja paksa.
Praktik kerja paksa ini dikenal dalam istilah "kuli kontrak", yaitu warga yang dikontrak tanpa perjanjian kerja yang adil dan sering kali di bawah tekanan atau paksaan dari aparat kolonial.
Pekerja dipaksa bekerja berjam-jam di medan berat tanpa peralatan yang memadai. Mereka bekerja di hutan lebat, bukit terjal, dan lembah yang sulit diakses. Makanan yang diberikan minim, begitu pula dengan perlindungan kesehatan.
Banyak dari mereka menderita penyakit seperti malaria, disentri, dan tifus. Tidak sedikit pula yang meninggal akibat kelelahan, kecelakaan kerja, atau karena kondisi kerja yang ekstrem.
Kasus-Kasus Pembangunan Rel yang Menelan Korban Besar
Salah satu proyek pembangunan rel yang mencatatkan jumlah korban jiwa cukup besar adalah jalur kereta api di Sumatra Barat, yaitu jalur Sawahlunto–Padang Panjang.
Rel ini dibangun untuk mengangkut batubara dari tambang Ombilin di Sawahlunto ke pelabuhan Teluk Bayur di Padang. Kondisi geografis yang berat membuat pembangunan jalur ini sangat berbahaya.
Pembangunan rel ini memanfaatkan tenaga kerja dari narapidana, tahanan politik, dan warga lokal yang dipaksa bekerja. Banyak pekerja meninggal akibat longsor, jatuh saat memecah batu di tebing curam, atau karena penyakit.
Jumlah pasti korban jiwa tidak tercatat secara resmi, namun berbagai sumber sejarah menyebutkan jumlahnya mencapai ribuan selama beberapa dekade pembangunan dan pengoperasian awal tambang.
Kasus lain terjadi di Aceh, di mana rel dibangun oleh Militaire Stoomtram Maatschappij (MSM) pada awal abad ke-20.
Proyek ini berlangsung di tengah konflik antara pemerintah kolonial dan rakyat Aceh yang masih melakukan perlawanan.
Pekerjaan dilakukan dalam kondisi pengamanan ketat militer, dan pekerja yang dicurigai berhubungan dengan pejuang Aceh dapat dihukum mati di tempat. Dokumentasi resmi mengenai jumlah korban di proyek ini juga sangat terbatas.
Tujuan Ekonomi Kolonial dan Bukan Untuk Kepentingan Rakyat
Seluruh proyek pembangunan rel di masa penjajahan dilakukan atas dasar kepentingan ekonomi pemerintah kolonial Belanda.
Jalur-jalur rel dibangun menghubungkan wilayah pertanian atau pertambangan dengan pelabuhan. Tujuan utamanya adalah mempercepat pengangkutan hasil bumi untuk diekspor ke pasar dunia.
Tidak seperti jaringan kereta api modern yang dirancang untuk menghubungkan pusat-pusat pemukiman dan memudahkan mobilitas penduduk, rel di masa kolonial tidak memperhatikan kepentingan rakyat lokal.
Fasilitas transportasi yang dibangun tidak ditujukan untuk memudahkan akses warga pribumi, melainkan untuk menunjang efisiensi produksi dan perdagangan kolonial.
Warisan Rel Kereta yang Masih Ada
Sebagian rel kereta yang dibangun di masa kolonial masih digunakan hingga saat ini, seperti jalur Semarang–Tanggung, Jakarta–Bogor, dan lintas selatan Jawa.
Di Sumatra, sebagian jalur yang dibangun untuk mengangkut batubara masih dioperasikan, meski tidak semuanya aktif.
Museum Kereta Api Ambarawa dan Museum Tambang Ombilin di Sawahlunto menyimpan dokumentasi dan peninggalan sejarah pembangunan rel.
Sedangkan di Sawahlunto, sisa-sisa rel dan kereta api tua menjadi bagian dari kawasan wisata sejarah, termasuk kereta uap "Mak Itam" yang pernah beroperasi di jalur ini.
Penutup
Pembangunan rel kereta api di Indonesia pada masa penjajahan Belanda merupakan bagian dari proyek besar eksploitasi sumber daya alam dan manusia.
Di balik pencapaian teknologinya, proyek ini menyimpan catatan sejarah panjang tentang penderitaan pekerja pribumi.
Dokumentasi resmi tentang korban jiwa masih minim, namun catatan sejarah dan penelitian menunjukkan bahwa penderitaan dalam pembangunan rel merupakan bagian integral dari sejarah kolonialisme di Indonesia.