Dulu sekali, kira-kira tahun 1159 sebelum Masehi—bayangkan betapa lamanya itu—ada sebuah desa kecil di Mesir yang namanya Deir el-Medina. Nggak banyak orang tahu soal tempat ini, padahal di sanalah para pengrajin terbaik tinggal.
Mereka bukan sembarang tukang. Mereka ini yang bikin makam megah para firaun, yang dindingnya penuh lukisan dan relief yang sampai sekarang masih bikin kita tercengang.
Tapi walaupun mereka penting, hidup mereka ternyata nggak selalu mulus. Suatu waktu, upah mereka—yang biasanya dibayar pakai gandum, biji-bijian, sama bir—nggak datang-datang. Lama banget. Padahal itu makanan utama mereka.
Bayangin kerja di bawah terik matahari, ukir batu berhari-hari, tapi nggak bisa makan. Ya, siapa yang tahan?
Akhirnya mereka mutusin buat berhenti kerja. Nggak demo di jalan sih, tapi mereka duduk di depan kuil, diem, protes. Ada juga yang nulis surat ke pejabat, bahkan katanya sampai ke firaunnya langsung.
Nggak ada spanduk, nggak ada orasi. Tapi itu udah cukup buat bikin geger. Soalnya, ini pertama kalinya dalam sejarah manusia ada mogok kerja yang tercatat. Bayangin, mogok kerja... di zaman Firaun!
Semua ini kejadian waktu Ramses III lagi jadi penguasa. Katanya dia firaun terakhir yang masih bisa ngendaliin Mesir sebelum semuanya mulai berantakan. Di awal pemerintahannya, dia lumayan berhasil.
Tapi lama-lama, negara mulai keropos. Musuh datang dari mana-mana, ekonomi kacau, dan Mesir mulai kehilangan kekuasaannya.
Waktu Bangsa Laut datang menyerbu—itu semacam aliansi musuh dari luar—Ramses III sempat menang. Tapi buat perang, dia harus keluarin banyak sumber daya.
Ujung-ujungnya, rakyat kecil yang kena imbas, termasuk para pengrajin di Deir el-Medina tadi. Mereka nggak dibayar, nggak makan, lalu mereka bilang, "cukup."
Dan begitulah. Tindakan mereka yang sederhana itu—cuma duduk dan menuntut hak—ternyata jadi tonggak sejarah.
Mereka mungkin nggak sadar, tapi mereka sedang menulis bab awal dalam kisah panjang perjuangan buruh di dunia ini.