Naik haji bukan sekadar perjalanan spiritual ke Mekkah. Bagi umat Islam Indonesia, ini adalah perjalanan penuh makna yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Dari masa ketika perjalanan haji ditempuh berbulan-bulan dengan kapal kayu, hingga kini dengan pesawat modern.
Sejarah Pergi Haji jadi cerminan perjalanan sejarah bangsa ini tentang keimanan, perjuangan, dan transformasi zaman.
Bagaimana awal mula Pergi Haji ada di Indonesia?
Ketika Islam Menyapa Nusantara
Islam mulai masuk ke wilayah Nusantara sejak abad ke-13, dibawa oleh para pedagang, ulama, dan pelaut dari Arab, India, dan Persia.
Seiring penyebaran Islam, kewajiban haji mulai dikenal oleh masyarakat lokal. Namun, naik haji di masa awal berkembangkan ajaran Islam bukanlah perkara mudah.
Catatan tertua tentang orang Nusantara yang naik haji berasal dari Kesultanan Samudera Pasai di Aceh.
Sejarawan meyakini bahwa Sultan Zainal Abidin, penguasa Samudera Pasai di abad ke-13, adalah salah satu tokoh pertama dari Indonesia yang menunaikan ibadah haji.
Bahkan dalam catatan pengelana Muslim terkenal, Ibn Battuta, disebutkan bahwa raja Pasai saat itu sangat religius dan fasih dalam ajaran Islam, diduga karena pernah belajar di Timur Tengah.
Jalur Lautan dan Bahaya yang Mengintai
Naik haji pada masa itu memerlukan keberanian yang luar biasa. Para jamaah dari Nusantara harus menyeberangi lautan luas dengan kapal dagang atau perahu layar yang melintasi Samudra Hindia, singgah di pelabuhan-pelabuhan India dan kemudian menuju Yaman atau langsung ke Jeddah.
Perjalanan ini bisa memakan waktu 6 bulan hingga 1 tahun, tergantung cuaca dan rute. Tak jarang para calon haji menghadapi badai, kelaparan, bahkan perompak. Banyak yang tidak pernah kembali.
Namun, bagi mereka yang selamat, pulang dari Mekkah bukan hanya membawa gelar “Haji”, tetapi juga ilmu, wibawa, dan semangat baru dalam menyebarkan Islam.
Haji Sebagai Gerakan Intelektual
Seiring waktu, banyak orang Indonesia yang bukan sekadar berhaji, tapi juga menuntut ilmu di Mekkah. Mereka disebut sebagai jawi—sebutan bagi Muslim asal Asia Tenggara.
Ulama-ulama besar Indonesia seperti Syekh Nawawi al-Bantani (Banten) dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (Sumatera Barat) menetap di Mekkah dan mengajar di Masjidil Haram.
Murid-murid mereka kelak menjadi tokoh penting dalam gerakan kebangkitan nasional dan penyebaran pendidikan Islam di Indonesia.
Dengan demikian, ibadah haji juga berperan sebagai jembatan intelektual antara Timur Tengah dan Nusantara.
Era Kolonial: Haji Diawasi, Tapi Tetap Mengalir
Pada pertengahan abad ke-19, Belanda mulai mewajibkan jamaah haji memiliki izin khusus.
Hal ini disebabkan karena kolonial Belanda mulai khawatir terhadap gelombang jamaah haji yang pulang membawa pemikiran anti-penjajahan.
Apalagi banyak dari mereka menjadi tokoh pergerakan Islam seperti Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, hingga Haji Misbach.
Pada 1859, diberlakukan kebijakan kontrol haji. Tujuannya adalah memantau aktivitas jamaah dan menghalangi penyebaran ide-ide radikal.
Bahkan pada 1872, Belanda membuka Konsulat di Jeddah hanya untuk mengawasi para haji asal Hindia Belanda.
Namun, pengawasan ini tak menyurutkan semangat masyarakat untuk berhaji.
Data menunjukkan bahwa di akhir abad ke-19, jumlah jamaah haji asal Indonesia terus meningkat pesat, bahkan mendominasi di antara jamaah dari wilayah Asia Tenggara.
Dari Kapal Uap ke Pesawat: Modernisasi Ibadah Haji
Pada awal abad ke-20, teknologi mulai mengubah wajah perjalanan haji. Kapal uap menggantikan kapal layar, memperpendek waktu tempuh ke Jeddah.
Pemerintah Hindia Belanda lalu menunjuk maskapai pelayaran seperti Rotterdamsche Lloyd dan Koninklijke Paketvaart-Maatschappij (KPM) untuk mengangkut jamaah.
Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan haji mulai dilakukan oleh pemerintah.
Pada 1950-an hingga 1970-an, kapal laut seperti KM Lawit, KM Tidar, dan KM Gunung Dempo mengangkut ribuan jamaah dari pelabuhan Surabaya, Tanjung Priok, dan Ujung Pandang.
Baru pada era 1980-an, Indonesia secara masif mengalihkan pengangkutan jamaah haji menggunakan pesawat terbang.
Ini adalah tonggak penting dalam efisiensi dan keselamatan perjalanan haji.