Pada akhir 1998, Indonesia sedang bergulat dengan ketidakpastian. Setelah 32 tahun kekuasaan Orde Baru tumbang, rakyat dihadapkan pada krisis ekonomi, kekosongan hukum, dan ketegangan sosial yang mengendap di banyak tempat.
Dan di tengah segala keruwetan itu, di Banyuwangi dan sekitarnya, ratusan orang tiba-tiba jadi sasaran kekerasan. Mereka dituduh sebagai dukun santet.
Kekerasan Terorganisir
Pola kejadiannya mirip dan mengerikan: sekelompok orang datang malam-malam, menyeret korban keluar dari rumah, lalu menghabisinya. Di banyak tempat, korban bahkan tidak sempat membela diri.
Sebagian korban dibakar hidup-hidup, menambah kekejaman tragedi ini. Proses eksekusinya sangat brutal, di mana banyak orang yang dituduh sebagai dukun santet tak sempat melawan atau berteriak meminta tolong.
Malam itu, sekelompok orang yang tidak dikenal datang ke rumah mereka, menyeret mereka keluar dengan kekerasan, dan tanpa peringatan, mereka dibakar atau disiksa hingga tewas.
Pembunuhan-pembunuhan ini bukan hanya soal perasaan amarah masyarakat yang terpendam, tetapi pola kejadiannya yang hampir serupa di berbagai tempat menunjukkan bahwa ada sesuatu yang jauh lebih terorganisir.
Yang lebih mengerikan adalah pengakuan dari beberapa warga yang selamat atau sempat menyaksikan kekerasan tersebut. Mereka menyebutkan bahwa pelaku kekerasan tampak sangat terkoordinasi, seolah mereka tahu siapa yang menjadi target mereka.
Pelaku tidak datang secara acak atau tanpa persiapan, mereka membawa daftar nama-nama orang yang sudah ditentukan sebelumnya untuk menjadi sasaran. Ini adalah tanda bahwa serangan terhadap para korban bukanlah aksi spontan, melainkan bagian dari rencana yang lebih besar, yang melibatkan lebih dari sekadar sekelompok massa marah.
Mereka seakan sudah dibekali informasi—termasuk siapa yang harus ditangkap, dibunuh, dan dihukum dengan cara paling kejam. Tidak hanya itu, sebagian pelaku diketahui memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang cara-cara intimidasi psikologis, seperti memastikan bahwa orang-orang yang dibunuh dipermalukan dan diteror terlebih dahulu sebelum akhirnya dieksekusi.
Pola kekerasan ini membuktikan bahwa serangan terhadap dukun santet bukan hanya ledakan emosi dari warga yang resah, tetapi lebih kepada tindakan yang terstruktur dan sistematis, bahkan mungkin disponsori oleh pihak tertentu.
Ada banyak kecurigaan yang berkembang tentang siapa yang menggerakkan massa ini dan apa tujuan di balik serangan-serangan ini, tetapi yang jelas, ketakutan terhadap santet telah digunakan sebagai alat untuk menutupi ketidakadilan yang jauh lebih besar.
Radiogram Bupati Banyuwangi
Sebuah dokumen yang belakangan diketahui sebagai radiogram dari Bupati Banyuwangi saat itu, Purnomo Sidik, memperkeruh dugaan.
Radiogram tersebut meminta para camat dan kepala desa untuk mendata orang-orang yang diduga memiliki kemampuan supranatural. Katanya untuk melindungi mereka. Tapi data itu bocor. Dan data itulah yang diduga digunakan sebagai daftar mati. Beberapa hari setelah radiogram itu beredar, pembunuhan justru meningkat tajam.
Keterlibatan Pihak Terorganisir
“Seperti ada yang mengatur,” kata Ali Maki Syamwiel, anggota tim investigasi dari Nahdlatul Ulama Banyuwangi. Ia menyebut bahwa para pelaku tidak bertindak sendiri, melainkan melalui pelatihan dan pembagian tugas. “Ini bukan amarah warga biasa, ini operasi,” ucapnya dalam sebuah wawancara.
Pembunuhan Massal sebagai Pelanggaran HAM Berat
Bahkan Komnas HAM dalam kesimpulannya menyatakan bahwa pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dituduh dukun itu tergolong sebagai pelanggaran HAM berat. Alasannya, kekerasan terjadi secara sistematis dan terencana, dengan pola yang berulang dan korban yang terus bertambah.
Tapi negara seperti tak bergeming. Penyelidikan tak pernah tuntas. Pelaku tidak banyak yang diadili. Dan korban hanya dikenang dalam bisik-bisik keluarga.
Yang lebih mencengangkan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat bahwa jumlah korban mencapai 194 orang—dan itu hanya yang tercatat. Bisa jadi jauh lebih banyak. Namun sampai hari ini, belum ada permintaan maaf resmi dari negara, belum ada upaya sungguh-sungguh untuk membuka kembali kasus ini.
Beberapa lembaga, seperti LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), sebenarnya sudah menyatakan kesiapan untuk melindungi para saksi maupun keluarga korban jika kasus ini dibuka kembali. Tapi sejauh ini, belum ada pergerakan nyata dari aparat penegak hukum untuk mengusut ulang.
Padahal, waktu tidak menghapus luka—ia hanya membuat kita lupa. Dan ketika keadilan ditunda, ketakutan bisa berubah menjadi trauma lintas generasi.
Kehilangan Kepercayaan terhadap Negara
Tragedi ini bukan semata cerita mistis tentang dukun dan santet. Ia adalah cermin dari rusaknya kepercayaan masyarakat terhadap negara. Ketika hukum tidak hadir, maka masyarakat akan menciptakan hukum mereka sendiri—berbasis ketakutan, desas-desus, dan kemarahan.
Yang paling menyedihkan: sebagian besar korban adalah orang tua yang bahkan mungkin tidak tahu apa itu “ilmu santet”. Mereka hanya hidup berbeda. Atau menyendiri. Atau tidak bisa membela diri saat fitnah datang.
Dan karena itu, cerita mereka tidak boleh dihapus dari ingatan kita.