Skip ke Konten

Misteri Kasus Marsinah: Pembunuhan Buruh yang Masih Terlupakan

Marsinah lahir pada 10 April 1969 di sebuah desa kecil di Nganjuk.

kasus marsinah


Hari Buruh selalu datang setiap tanggal 1 Mei. Di berbagai kota, kita melihat lautan massa mengenakan atribut seragam, memegang poster-poster tuntutan, dan bersuara lantang soal upah, perlindungan, dan keadilan. Tapi di antara keramaian itu, ada satu nama yang nyaris tak pernah absen disebut, meski kadang hanya lirih: Marsinah.


Ia bukan tokoh besar. Bukan pemimpin partai. Bukan pula aktivis yang punya panggung. Dia cuma buruh biasa, perempuan muda dari Jawa Timur. Tapi justru karena itulah kisahnya terasa dekat—dan menyakitkan.


Buruh Kecil dengan Nyali Besar


Marsinah lahir pada 10 April 1969 di sebuah desa kecil di Nganjuk. Ayahnya seorang buruh tani, dan sejak kecil hidup Marsinah tak pernah mudah. Tapi itu tak membuatnya lemah. Setelah lulus SMA, ia bekerja di PT Catur Putra Surya (CPS), sebuah pabrik jam tangan di Sidoarjo.


Kalau kita bayangkan suasana pabrik tahun 1990-an, apalagi di masa Orde Baru, rasanya sudah bisa ditebak: upah rendah, jam kerja panjang, hak-hak buruh diabaikan. Tapi Marsinah tak cuma diam. Dia memperhatikan, membaca, dan diam-diam mulai bersuara.


Awal Ketegangan: Tuntut UMR, Dihabisi Diam-Diam


Tanggal 3 Mei 1993, ratusan buruh PT CPS mogok kerja. Tuntutannya sederhana: perusahaan harus membayar upah sesuai ketentuan gubernur, yakni Rp2.250 per hari. Terdengar kecil? Mungkin. Tapi bagi buruh saat itu, selisih seratus atau dua ratus rupiah sangat berarti.


Marsinah ikut aktif dalam aksi itu. Ia hadir dalam rapat-rapat, mencatat, bahkan membacakan tuntutan. Tapi pada 5 Mei, suasana berubah mencekam. Sebanyak 13 buruh dipanggil ke Koramil Sidoarjo. Mereka ditekan agar mengundurkan diri. Beberapa mengaku diancam.


Esok harinya, Marsinah hilang. Teman-temannya mulai khawatir. Dan benar saja—tiga hari kemudian, tubuhnya ditemukan di hutan Wilangan, Nganjuk. Penuh luka, memar, tulangnya patah. Mati dengan cara yang tak manusiawi.


Siapa yang Bertanggung Jawab?


Pertanyaan ini masih menggantung sampai sekarang. Dugaan publik kala itu mengarah ke aparat—khususnya militer. Soalnya jelas: para buruh sebelumnya dibawa ke Koramil. Marsinah ikut menyuarakan protes atas perlakuan itu. Lalu ia hilang.


Tapi seperti biasa di zaman itu, kasus ini "diselesaikan" dengan cepat. Tujuh orang diseret ke pengadilan. Semuanya buruh, dan semuanya akhirnya dibebaskan karena kurang bukti. Tak ada aparat yang disentuh hukum. Tak ada jenderal yang ditanya. Keadilan berhenti di tembok gelap.


Hari Buruh dan Bayangan Marsinah


Setiap kali tanggal 1 Mei tiba, Marsinah hadir lagi. Bukan secara fisik, tentu, tapi lewat spanduk, mural, nyanyian, dan orasi. Namanya disebut sebagai martir. Tapi kadang kita lupa, dia bukan hanya simbol. Dia adalah manusia nyata yang disiksa dan dibunuh karena berani bicara.


Perjuangan Marsinah tidak selesai ketika jasadnya dikubur. Justru sejak itu, suaranya menjadi milik semua buruh yang masih berjuang hingga hari ini. Ia menjadi semacam api kecil yang menyala di dada banyak orang—api yang bilang bahwa memperjuangkan hak itu bukan dosa.


Kita Masih Berutang


Tiga puluh tahun telah berlalu. Dunia berubah, Orde Baru tumbang, dan teknologi berkembang. Tapi siapa pembunuh Marsinah? Tak ada yang tahu, atau tak ada yang mau bilang.


Yang jelas, kita masih berutang. Bukan cuma ke Marsinah, tapi ke semua orang kecil yang berani bersuara dan dibungkam. Utang itu bukan dalam bentuk uang, tapi dalam bentuk kebenaran—dan keberanian untuk menuntutnya.


Penutup

Marsinah memang sudah lama tiada. Tapi ceritanya masih hidup—kadang di koran, kadang di lagu, kadang di bisik-bisik buruh yang takut tapi tetap berani. Dan setiap Hari Buruh, saat ribuan suara menggema, satu suara kecil tetap terdengar di antara mereka:


"Saya tidak takut menuntut hak saya."

di dalam Kriminal
Misteri Kasus Marsinah: Pembunuhan Buruh yang Masih Terlupakan
fajar ryanto 8 Mei 2025
Share
Label
Arsip
Menguak Tabir Gelap Pembunuh Berantai dari Wonogiri "Sarmo"
Sarmo (35), seorang warga biasa yang dikenal pendiam, ternyata menyimpan rahasia paling mengerikan: ia adalah pembunuh berantai yang telah merenggut nyawa empat orang