Pada tahun 2022, Kanada diguncang oleh kasus pembunuhan berantai yang menimpa empat perempuan Pribumi. Pembunuhnya, seorang pria bernama Jeremy Skibicki, menjadi pusat perhatian nasional setelah aksinya terungkap. Penemuan jenazah para korban, yang sebagian besar dibuang ke tempat pembuangan akhir, menyoroti luka lama di tengah masyarakat Kanada: kekerasan sistemik terhadap perempuan Pribumi dan kegagalan institusi dalam melindungi mereka.
Awal Terbongkarnya Kasus
Kasus ini mulai terkuak pada Mei 2022, ketika seorang pria yang sedang mencari barang rongsokan di sebuah tempat sampah di dekat apartemen Jeremy Skibicki di Winnipeg menemukan potongan tubuh manusia.
Setelah dilakukan identifikasi oleh kepolisian, potongan tubuh tersebut diketahui milik Rebecca Contois, seorang perempuan Pribumi berusia 24 tahun dari O-Chi-Chak-Ko-Sipi First Nation.
Penemuan ini menjadi titik awal penyelidikan lebih luas oleh Kepolisian Berkuda Kerajaan Kanada (RCMP). Selama penyelidikan, polisi menemukan bukti-bukti yang mengarah pada keterlibatan Skibicki dalam pembunuhan berantai.
Dalam waktu singkat, nama-nama korban lain pun muncul yaitu Morgan Harris (39 tahun), Marcedes Myran (26 tahun), dan satu korban yang hingga kini belum berhasil diidentifikasi, yang kemudian diberi nama simbolis oleh masyarakat sebagai “Buffalo Woman”.
Para Korban
Rebecca Contois
Rebecca adalah korban pertama yang teridentifikasi. Ia ditemukan dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Potongan tubuhnya ditemukan dalam kantong plastik. Polisi kemudian menemukan sisa-sisa tubuhnya di tempat pembuangan akhir Brady Road di Winnipeg.
Morgan Harris
Morgan merupakan seorang ibu dari lima anak yang dikenal aktif dalam komunitasnya di Long Plain First Nation. Ia dinyatakan hilang pada Mei 2022. Penyelidikan menunjukkan bahwa Harris adalah salah satu korban pembunuhan oleh Skibicki, dan diperkirakan dibunuh pada awal Mei 2022.
Marcedes Myran
Seperti Harris, Marcedes juga berasal dari Long Plain First Nation. Ia terakhir terlihat pada musim semi 2022. Penyelidikan menemukan bahwa Myran kemungkinan dibunuh dalam rentang waktu yang berdekatan dengan Harris.
Buffalo Woman
Korban keempat hingga kini belum berhasil diidentifikasi secara resmi. Namun, masyarakat adat memberi nama simbolis “Buffalo Woman” untuk menghormatinya. Nama tersebut dipilih karena makna spiritual yang kuat bagi banyak komunitas Pribumi di Kanada.
Penangkapan dan Proses Hukum
Jeremy Skibicki ditangkap pada Mei 2022 tak lama setelah penemuan tubuh Rebecca Contois. Dalam proses penyidikan, Skibicki mengaku membunuh keempat perempuan tersebut. Ia menyatakan bahwa semua pembunuhan dilakukan di apartemennya dalam waktu berurutan antara bulan Maret hingga Mei 2022.
Bukti forensik dan pengakuan dari pelaku memperkuat dakwaan. Pada Juli 2023, pengadilan memvonis Jeremy Skibicki atas empat pembunuhan tingkat pertama. Meskipun ia sempat mencoba mengajukan pembelaan atas dasar gangguan mental, pengadilan menyatakan bahwa ia sepenuhnya sadar atas perbuatannya.
Dalam persidangan, terungkap bahwa Skibicki memiliki pandangan ekstrem yang sangat berbahaya. Ia aktif di forum-forum daring yang menyebarkan kebencian terhadap perempuan dan kelompok minoritas, termasuk masyarakat Pribumi.
Ia juga mengklaim bahwa tindakannya adalah bagian dari "misi spiritual" yang diperintahkan oleh Tuhan. Meskipun sempat dibahas kemungkinan adanya gangguan mental, pengadilan memutuskan bahwa ia sepenuhnya sadar dan bertanggung jawab atas perbuatannya.
Skibicki akhirnya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat selama 25 tahun.
Penolakan Awal dan Tekanan Publik
Setelah Skibicki mengaku membuang jenazah Harris dan Myran ke TPA Prairie Green, keluarga korban menuntut pencarian jenazah dilakukan.
Namun, pemerintah provinsi Manitoba dan pihak kepolisian awalnya menolak pencarian tersebut. Alasan utama yang dikemukakan adalah risiko paparan bahan kimia berbahaya dan estimasi biaya pencarian yang bisa mencapai C$184 juta, serta kemungkinan memakan waktu hingga tiga tahun.
Penolakan tersebut memicu gelombang protes dari masyarakat Pribumi, aktivis hak asasi manusia, dan keluarga korban. Mereka menuntut keadilan dan perlakuan setara bagi korban Pribumi.
Perubahan Pemerintah dan Dimulainya Pencarian
Situasi berubah setelah pemilu provinsi Manitoba pada Oktober 2023. Pemerintahan baru yang dipimpin oleh Wab Kinew, seorang perdana menteri Pribumi pertama di Manitoba, mengumumkan bahwa pemerintah akan menyediakan dana sebesar C$20 juta untuk pencarian jenazah di Prairie Green. Dana tersebut kemudian dilipatgandakan oleh pemerintah federal.
Pencarian resmi dimulai pada Desember 2023. Dengan bantuan tim ahli, teknologi forensik modern, dan prosedur keselamatan yang ketat, proses pencarian berlangsung selama berbulan-bulan.
Pada akhir Februari 2025, tim pencari menemukan sisa-sisa jenazah manusia. Setelah proses identifikasi, jenazah tersebut dipastikan sebagai milik Morgan Harris dan Marcedes Myran.
Respons Pemerintah dan Permintaan Maaf
Setelah penemuan jenazah, pemerintah provinsi Manitoba mengeluarkan pernyataan resmi bahwa keluarga korban telah diberi tahu. Keluarga Marcedes Myran meminta privasi, sementara Cambria Harris, putri dari Morgan Harris, menyebut penemuan tersebut sebagai “momen yang manis dan pahit” karena akhirnya sang ibu ditemukan, meski dalam keadaan yang menyedihkan.
Pemerintah Manitoba melalui Partai Konservatif Progresif yang sebelumnya menolak pencarian, mengeluarkan permintaan maaf resmi di legislatif. Pemimpin interim PC, Wayne Ewasko, menyatakan, “Pemerintah kami telah keliru. Sesederhana itu.”
Wab Kinew, selaku Perdana Menteri Manitoba, menyatakan bahwa pencarian ini tidak hanya benar secara moral, tetapi juga masuk akal secara praktis. Ia menambahkan bahwa banyak warga Kanada selalu memahami bahwa ini adalah langkah yang harus dilakukan.
Penutup
Penemuan jenazah Morgan Harris dan Marcedes Myran di tempat pembuangan akhir menjadi penutup dari babak panjang perjuangan keluarga korban dan masyarakat adat di Kanada.
Meski luka tidak akan pernah sepenuhnya sembuh, langkah-langkah yang telah diambil untuk menemukan para korban menjadi bentuk pengakuan terhadap penderitaan yang selama ini diabaikan. Kasus ini meninggalkan catatan penting dalam sejarah keadilan bagi masyarakat Pribumi, bahwa setiap nyawa—tanpa terkecuali—patut dihormati dan diperjuangkan.