Di tengah dunia modern yang serba digital dan terukur secara presisi, masih ada ruang untuk cara pandang yang lebih halus, lebih dalam, dan lebih spiritual. Salah satu warisan yang terus hidup hingga kini, terutama di tanah Jawa, adalah kalender weton. Sebuah sistem penanggalan yang bukan hanya menghitung waktu, tapi juga meraba makna, menimbang watak, dan memandu langkah dalam kehidupan.
Kalender Jawa weton adalah peta tak terlihat yang digunakan masyarakat Jawa untuk membaca dunia, bukan hanya dunia lahir, tapi juga batin. Ia hadir dalam perhitungan hari lahir, perjodohan, pencarian hari baik, hingga tradisi syukuran. Tapi di balik praktiknya yang terasa mistis, kalender ini sejatinya menyimpan logika tersendiri—berakar pada sejarah panjang, pengetahuan kosmologis, dan refleksi mendalam tentang manusia dan semesta.
Jejak Sejarah Kalender Jawa: Perpaduan Tiga Dunia
Sistem kalender Jawa bukanlah ciptaan satu zaman atau satu budaya saja. Ia adalah hasil asimilasi tiga sistem penanggalan yang berbeda: kalender Masehi, kalender Hijriah, dan sistem penanggalan Hindu-Buddha kuno.
Secara historis, kalender Jawa mengalami beberapa fase penting:
1. Masa Hindu-Buddha: Cikal Bakal Penanggalan Saka
Sebelum Islam masuk ke Nusantara, masyarakat Jawa menggunakan kalender Saka, sistem penanggalan dari India yang berbasis pada perhitungan bulan. Kalender ini masih digunakan hingga kini dalam beberapa perayaan, seperti Hari Raya Nyepi di Bali.
2. Masa Islamisasi Jawa: Sinkretisme Budaya
Pada abad ke-16, masa pemerintahan Sultan Agung dari Mataram menjadi titik penting. Sultan Agung menciptakan sistem penanggalan baru yang disebut Kalender Jawa pada tahun 1633 Masehi. Ia menggabungkan sistem kalender Hijriah (Islam), sistem Saka, dan hari pasaran Jawa. Inilah titik lahirnya kalender Jawa weton sebagaimana yang kita kenal sekarang.
Langkah ini bukan sekadar teknis. Sultan Agung sedang membangun identitas kebudayaan Jawa-Islam—yang spiritual, fleksibel, dan penuh simbolisme.
Mengenal Weton: Dua Siklus, Satu Makna
Dalam sistem ini, setiap hari dalam seminggu memiliki pasangan tetap dengan salah satu dari lima pasaran. Maka, dalam siklus waktu Jawa, tidak hanya ada "Senin", tetapi ada Senin Pon, Senin Wage, Senin Legi, dan seterusnya. Ini disebut weton: gabungan antara hari (7) dan pasaran (5), menghasilkan 35 kombinasi.
Hari dalam Kalender Jawa: Minggu (Ahad), Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu
Pasaran: Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon
Misalnya: seseorang lahir pada hari Kamis Kliwon, maka kombinasi itu menjadi identitas spiritual dan budaya mereka.
Cara Menghitung Weton: Memahami Neptu dan Fungsinya
Setiap hari dan pasaran memiliki nilai angka yang disebut neptu, yang digunakan untuk membaca karakter, mencari hari baik, bahkan menghitung kecocokan jodoh.
Neptu Hari:
- Minggu: 5
- Senin: 4
- Selasa: 3
- Rabu: 7
- Kamis: 8
- Jumat: 6
- Sabtu: 9
Neptu Pasaran:
- Legi: 5
- Pahing: 9
- Pon: 7
- Wage: 4
- Kliwon: 8
Contoh:
Jika seseorang lahir pada Selasa Kliwon, maka:
Neptu hari: 3 (Selasa)
Neptu pasaran: 8 (Kliwon)
Jumlah neptu weton: 11
Nilai ini kemudian digunakan dalam berbagai interpretasi, seperti:
Sifat dasar dan temperamen orang tersebut.
Kecocokan pasangan (neptu jodoh).
Hari baik untuk menikah, memulai usaha, atau pindah rumah.
Perhitungan potensi rezeki dan cobaan.
Weton dan Budaya: Lebih dari Sekadar Hari Lahir
1. Tradisi Wetonan (Selamatan 35 Hari Sekali)
Masyarakat Jawa biasa mengadakan selamatan kecil pada hari weton seseorang setiap 35 hari sekali. Ini menjadi momen doa dan syukur, serta bentuk “memperkuat energi batin”. Bagi sebagian orang, ini juga dipercaya untuk menolak bala.
2. Perjodohan Berdasarkan Weton
Dalam budaya Jawa, jodoh bukan hanya urusan hati. Weton menjadi pertimbangan penting. Dua weton yang jika dijumlahkan dianggap “berat” bisa menandakan potensi konflik atau kesulitan rumah tangga. Maka, orang tua dulu biasa berkonsultasi pada orang pintar atau ahli primbon.
Namun, penting dicatat: perhitungan ini tidak dimaksudkan untuk menolak cinta, melainkan sebagai pengingat agar pasangan siap lahir batin menghadapi tantangan bersama.
3. Hari Baik dan Buruk
Hampir setiap kegiatan besar dalam hidup orang Jawa—mulai dari kelahiran, khitan, pernikahan, sampai kematian—diupayakan dilangsungkan pada hari yang baik secara hitungan weton. Ini bukan takhayul, melainkan bentuk kehati-hatian dan penghormatan pada semesta.
Weton di Era Modern: Kuno Tapi Tetap Relevan
Di zaman sekarang, banyak orang muda mulai kembali tertarik dengan weton. Ini bukan karena mereka ingin kembali ke masa lalu, melainkan karena mereka sedang mencari akar dan makna di tengah kehidupan yang serba cepat dan tidak menentu.
Aplikasi smartphone, situs primbon digital, bahkan konten YouTube tentang weton kini bermunculan. Mereka menyajikan ilmu ini dengan pendekatan baru—lebih visual, lebih praktis, tapi tetap berakar pada nilai-nilai lama.