Di sebuah halaman rumah panggung di pedalaman Kabupaten Gowa, berdiri menyaksikan pria tua mengenakan songkok tobone, dengan sebilah badik terselip di pinggangnya. Di hadapan seorang tamu yang dihormati, dia mulai mengucapkan kata-kata yang tidak hanya terdengar, tapi juga terasa. Suaranya menggema, dadanya ditepuk, dan matanya menyala penuh semangat. Inilah Angngaru—lebih dari sekadar pertunjukan, ini adalah sumpah sakral, warisan suku Makassar yang bertahan dari zaman kerajaan hingga era digital.
Jejak Sejarah Angngaru: Dari Medan Perang ke Panggung Kehormatan
Angngaru diyakini berakar sejak masa kerajaan Gowa-Tallo, sekitar abad ke-14. Kala itu, para prajurit kerajaan melakukan ritual sebelum berangkat ke medan perang. Ritual ini bukan sembarang salam perpisahan; ia adalah janji dalam bentuk syair, kadang diakhiri dengan tindakan ekstrem seperti menggoreskan badik ke dada sendiri sebagai bentuk kesiapan mengorbankan nyawa demi tanah air dan raja.
Menurut Dr. Salim Mattulada, seorang antropolog Sulawesi Selatan, "Angngaru merupakan refleksi nilai siri’ na pacce yang tak bisa ditawar. Ia bukan hanya sumpah setia, tetapi juga pernyataan harga diri."
Isi Angngaru: Bukan Sekadar Kata, Tapi Kode Kehormatan
Syair Angngaru biasanya diucapkan dalam bahasa Makassar kuno dan penuh metafora. Berikut salah satu penggalan yang saya dokumentasikan:
“Naia aku tobarani, nakullei lino, napare’ ri gurutta, ri tomatingi.”
(Akulah pemberani, tidak gentar hidup maupun mati, tunduk pada guruku dan pemimpinku.)
Pementasannya diiringi gerak tubuh yang teatrikal, seringkali disertai detak kaki menghentak bumi, sebagai simbol kesiapan mempertahankan kehormatan meski harus berakhir dengan darah.
Kesaksian: Di Balik Semangat, Ada Luka yang Nyata
Pada 29 Oktober 2024, sebuah insiden tragis yang terjadi kepada seorang pemuda bernama Fajar (18 tahun) di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Fajar meninggal dunia setelah secara tidak sengaja tertusuk badik saat melaksanakan tradisi Angngaru dalam acara pernikahan sepupunya.
Fajar, yang merupakan sepupu dari mempelai wanita, tampil dalam prosesi Angngaru sebagai bagian dari penyambutan mempelai pria. Saat mengarahkan badik ke dadanya sebagai bagian dari ritual, ujung senjata tersebut menembus dada sebelah kiri, menyebabkan Fajar jatuh dan tidak sadarkan diri. Ia segera dilarikan ke Puskesmas Pundata Baji, namun meninggal dunia dalam perjalanan.
Transformasi dan Kontroversi
Angngaru memang telah bertransformasi. Jika dulu hanya dilakukan oleh prajurit di hadapan raja, kini ia muncul dalam berbagai acara: penyambutan tamu, pernikahan adat, festival budaya, hingga konten media sosial.
Namun, tidak semua sepakat dengan “modernisasi” tersebut. Firman Saleh, budayawan Sulsel, dalam diskusi budaya yang saya hadiri Desember lalu, menyatakan:
"Angngaru bukan dekorasi. Jika kita menaruhnya di tempat yang salah, maka maknanya bisa hilang. Bahkan bisa membahayakan."
Upaya Pelestarian dan Pendidikan Budaya
Di tengah kekhawatiran terhadap penyalahgunaan, komunitas seperti Balla Lompoa Heritage Group mulai mengadakan pelatihan Angngaru bagi generasi muda, lengkap dengan edukasi nilai-nilai filosofisnya. Saya sempat mengikuti salah satu sesi latihan mereka di Sungguminasa, dan melihat anak-anak usia 10-15 tahun belajar bukan hanya bagaimana mengucap syair, tetapi juga memahami arti siri’, pacce, dan tanggung jawab sosial sebagai penerus budaya.
Penutup: Menjaga Nyala Api Tradisi
Angngaru adalah lebih dari tradisi lisan. Ia adalah jendela ke masa lalu, sekaligus cermin nilai-nilai luhur yang makin langka di masa kini. Dalam Angngaru, kita menemukan keberanian, loyalitas, dan spiritualitas yang menolak dilupakan.
Melestarikannya bukan sekadar urusan seni pertunjukan, tapi tentang melindungi identitas, menghormati leluhur, dan mengajarkan makna sejati keberanian kepada generasi masa depan.